Wartawan ‘Bodrex’ Berbekal Kartu Pers, Merusak Citra Jurnalisme

Ilustrasi, foto-net

OPINI – Wartawan abal-abal atau kerap disebut wartawan ‘bodrex’ masih ditemukan berkeliaran di Kalimantan Timur, khusunya di Kabupaten Kutai Timur (Kutim). Fenomena itu mendapat sorotan lantaran aksinya membuat resah. Keresahan tidak hanya rasakan bagi pejabat dan pengusaha yang sering kali menjadi korban oleh ulah oknum-oknum wartawan bodrex tersebut, tapi juga oleh mereka yang memang benar-benar menekuni profesinya sebagai wartawan.

Dalam menjalankan aksinya, oknum wartawan gadungan atau mengaku sebagai wartawan ini biasanya mencari-cari celah dan kesalahan pejabat, pengusaha atau pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Mereka kerap menakut-nakuti, mengancam dan bahkan tak segan melakukan pemerasan.

Masalahnya adalah masih adanya sejumlah kalangan baik pejabat, pengusaha maupun masyarakat umum yang belum bisa membedakan mana wartawan sebenarnya dan mana wartawan gadungan. Akibatnya, tindakan oknum-oknum yang mengaku wartawan tersebut menimbulkan image negatif dan merusak citra jurnalisme. Padahal wartawan merupakan profesi mulia, sebab tujuan dari seorang wartawan itu adalah untuk menyampaikan informasi berdasarkan fakta dari hasil penggalian informasi atau bukti nyata di lapangan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan mewawancarai sumber yang kredibel dan dapat dipercaya dengan informasi yang akurat.

Keberadaan wartawan abal-abal sebenarnya terjadi karena masih adanya perusahaan pers yang terlalu gampang mengeluarkan kartu pers dan surat tugas peliputan.

Seorang kenalan di Kutai Timur pernah bercerita bahwa untuk bergabung di salah satu perusahaan pers (perusahaan luar Kaltim-Red) dirinya membutuhkan dana Rp. 1.500.000. Menurutnya, uang tersebut akan digunakan perusahaan untuk mencetak kartu pers serta surat tugas miliknya dan dua rekannya. Disana tak ada uji coba buat mereka, tapi langsung mendapatkan kartu pers. Artinya setiap mereka hanya butuh Rp 500 ribu untuk bisa memiliki kartu pers.

Padahal, seorang wartawan seharusnya memiliki pengetahuan yang mencakup tentang jurnalisme. Seperti halnya pengetahuan umum dan etika jurnalis.

Selain itu, wartawan juga harus bisa menulis termasuk penempatan tanda baca. Tanda baca dalam penulisan dibutuhkan untuk membantu memahami makna tulisan tersebut. Oleh karena itu, tanda baca sangat penting agar kalimat dalam suatu paragraf mudah dipahami sehingga tidak terjadi kesalahan makna yang disampaikan oleh penulis.

Jika merujuk pada UU No. 40 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 4, wartawan adalah orang yang teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Maka dari itu, tidak gampang untuk menjadi wartawan sesungguhnya, butuh proses, pengalaman dan tuntunan atau belajar dari orang yang memang sudah memahami bagaimana jadi wartawan yang sesungguhnya.

Wartawan sejatinya adalah mereka yang melakukan kegiatan jurnalistik atau orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/dimuat di media massa secara teratur. Jadi pekerjaannya mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah berita dan menyajikan secepatnya kepada masyarakat luas melalui media massa, baik media cetak ataupun elektronik. Ruang lingkupnya meliputi reporter, editor, juru kamera berita, juru foto berita, redaktur dan editor audio visual.

Meskipun dalam UU 40 Tahun 1999 memberikan perlindungan kepada wartawan, namun berlaku bagi mereka yang bekerja secara professional. Bukan orang yang mengaku sebagai wartawan tetapi serap menyalah gunakan profesinya untuk melalkukan pemerasan dan menyudutkan orang lain yang ujung-ujungnya untuk mendapatkan keuntungan. (*).

 

Penulis: Imran R Sahara