Rindu yang Menggantung di Awan

Memberikan darah anak ayam bagi penari Hudoq. Foto: Aji Wihardandi

“Aku adalah Wehea yang melangkah sepanjang zaman. Aku adalah Wehea yang tak kenal kata menyerah dalam perjuangan. Aku adalah Wehea yang nyaris terlupakan.”

Begitulah penggalan puisi berjudul “Rindu yang menggantung di awan,” itu menunjukkan sejarah suku Dayak Wehea dalam meretas zaman yang penuh perjuangan. Puisi itu sekaligus sindiran kepada penguasa yang nyaris melupakan etnis budaya serta kearifan lokal yang bersemayam dalam nasi masyarakat Wehea.

Puisi tersebut selalu dibacakan pemuka adat Dayak Wehea saat hari raya adat masyarakat Wehea, Lom Plai. Lom Plai digelar oleh masyarakat Wehea setiap tahunnya, biasanya pada bulan April.

Dayak Wehea konon sudah menghuni kawasan Muara Wahau sekitar 400 tahun silam. Menurut Kepala Adat Wehea Ledjie Taq, tak ada dokumen atau catatan yang mendukung cerita itu. Tetapi, hikayat tentang keberadaan nenek moyang Weha di Muara Wahau menjadi sejarah lisan diceritakan turun temurun.

Dayak Wehea adalah rumpun sub etnis Dayak yang tersebar di sejumlah kecamatan di Kutai Timur, serta beberapa kabupaten dan kota di Kalangan Timur. Tidak jauh berbeda dengan etnis Dayak pada umumnya, Wehea mengandalkan alam sebagai sumber penghidupan.

Sebagai komunitas yang senantiasa berinteraksi dengan alam, masyarakat Wehea percaya pada ritme atau siklus penghidupan dimulai dari usaha manusia memanfaatkan alam dengan bijak. Asumsi ini didukung dengan sejumlah kegiatan adat masyarakat Dayak Wehea. Satu diantaranya adalah Lom Plai yang berarti kenduri panen padi.

Ledjie menjelaskan, Lom bersal dari bahasa Dayak Wehea yang berarti syukuran atau kenduri. Sedangkan Plai adalah sebutan untuk padi.

“Dalam bahasa Kutai Lom Plai sama dengan Erau,” ujar Ledjie. Lom Plai dilakukan setiap tahun sejak ratusan tahun yang lalu. Lom Plai di Desa Nehas Liah Bing tidak pernah apsen digelar hingga saat ini. Masyarakat Wehea menjaga ritual adat ini dengan baik.