Banjir Samarinda Bukan Lagi Soal Alam, Tapi Tata Ruang yang Semrawut

Husni Fahruddin

Legislator Kaltim Husni Fahruddin mendorong peninjauan ulang tata ruang sebagai solusi jangka panjang

Kronikkaltim.com – Samarinda kembali basah kuyup. Hujan deras yang mengguyur ibu kota Kalimantan Timur pada Senin, 27 Mei 2025, menjadi pengingat getir akan kerentanan kota terhadap bencana hidrometeorologi yang terjadi nyaris saban musim hujan. Di berbagai sudut kota,, jalan Dr. Soetomo, Gunung Lingai, hingga Sungai Dama – air tak kunjung surut, aktivitas warga lumpuh, dan kerugian material kembali tercatat.

Namun bagi sebagian warga, pemandangan ini bukan hal baru. Samarinda memang punya sejarah panjang dengan genangan. Dan tampaknya, bila tak ada langkah serius, ini akan terus berulang.

Di tengah kegelisahan masyarakat, suara lantang datang dari parlemen. Anggota DPRD Kalimantan Timur, Husni Fahruddin, menyampaikan kritik keras terhadap pola pikir lama yang menyandarkan penyebab banjir semata pada alam.

“Jangan kemudian menyalahkan alam, intensitas hujan tinggi, lah. Air pasang, lah,” ujarnya.

Husni berpandangan, curah hujan tinggi memang memicu genangan, tetapi bukanlah akar masalah. Justru yang lebih mendasar, kata dia, adalah lemahnya sistem drainase kota serta tata ruang yang tidak tertata dengan baik.

“Dari tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, hingga provinsi. Perlu dikaji tata ruangnya sehingga banjir-banjir seperti ini tidak terulang lagi,” terangnya.

Pernyataan tersebut tak berdiri tanpa data. Dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana Kota Samarinda 2022–2026, disebutkan bahwa kawasan rawan banjir di kota ini meliputi lahan sempadan sungai dan rawa yang telah dipadati pemukiman. Padahal, wilayah-wilayah tersebut sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air.

Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda pun menguatkan. Mereka mencatat bahwa sebagian besar titik genangan berada di kawasan yang dulunya merupakan bantaran sungai dan lahan serapan air. Kini, kawasan-kawasan itu berubah menjadi pemukiman padat dan pusat komersial, tanpa mempertimbangkan kapasitas lingkungan menampung limpasan air.

Masalah semakin kompleks dengan pengabaian terhadap aspek lingkungan dalam pembangunan kota. Penggalian sumber daya alam dalam bentuk pertambangan, pertanian skala besar, hingga perkebunan kerap tidak memperhatikan kaidah konservasi lingkungan.

“Ini semua karena ada penggalian sumber daya alam. Baik pertambangan, pertanian, perkebunan yang tidak mempertimbangkan kaidah dan dampaknya pada lingkungan,” tegas Husni.

Selain kritik terhadap struktur dan sistem tata kota, Husni juga menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat. Ia menyoroti perilaku buang sampah sembarangan dan kurangnya kesadaran warga terhadap kebersihan saluran air sebagai faktor yang memperburuk situasi.

Dia bepandangan, banjir bukan sekadar bencana alam. Ia adalah hasil dari interaksi kompleks antara alam dan ulah manusia—baik di level kebijakan maupun perilaku sehari-hari.

“Banjir tidak hanya persoalan alam, tetapi juga akibat dari perilaku manusia yang belum sepenuhnya sadar akan dampak lingkungan.”

Sebagai wakil rakyat, Husni Fahruddin berkomitmen untuk terus mendorong sinergitas antara pemerintah, komunitas lokal, dan masyarakat dalam mencari solusi jangka panjang. Ia meyakini bahwa selama tata ruang tidak diperbaiki dan kesadaran publik tidak ditingkatkan, Samarinda akan tetap berada dalam lingkaran banjir yang tak kunjung selesai.(Adv-DPRD Kaltim)