Di PHK Sepihak, Eks Karyawan PT Buma Lita Mengadukan Nasib ke Karang Paci

PERLU SOLUSI : Eks Karyawan PT Bumi Lita didampingi SP KEPSI dan SPKEP SPSI PT Buma Lati menyampaikan keluhan pada rapat kerja Komisi IV DPRD Kaltim yang juga dihadiri Disnakertrans Kaltim dan Disnakertrans Berau, Rabu (5/2/2020).////
KRONIKKALTIM.COM – Eks karyawan PT Buma Lita dengan didampingi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan (SP KEPSI) Tanjung Redeb, Berau dan SPKEP SPSI PT Buma Lati mengadukan nasib mereka ke Karang Paci sebutan Kantor DPRD Kaltim, Rabu (5/2/2020).
Diterima Komisi IV DPRD Kaltim mereka mengeluhkan tentang adanya PHK sepihak yang dilakukan perusahaan yang merupakan sub kontraktor yang menangani areal konsesi pertambangan PT Berau Coal sebanyak 60 persen dari total produksi batu baranya.
PC SPKEP SPSI Berau Aji Hendra Hidayat menuturkan PHK masal dan sepihak yang menjadi masalah saat ini terjadi terhadap 486 karyawan terdiri dari 60 persen atau 293 orang tenaga kerja lokal dan 39, 71 persen atau 193 orang tenaga kerja non lokal sejak Februari 2019 – 16 Desember 2019 yang dibagi dalam tiga tahapan mulai dari alasan pembinaan, dirumahkan dan PHK.
Ia menilai PHK masal dinilai cacat hukum karena melanggar Perda Berau Nomor 8/2018 tentang PTKL, UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, Permenaker 39/2016 tentang Penempatan Naker.
“Sebagaimana peraturan dimaksud maka menuntut melaksanakan amanat perda dengan melindungi tenaga perja lokal dengan cara semaksimal mungkin mempertahankan tenaga kerja lokal agar tidak di PHK. Selama belum ada putusan inkrah PHK perusahaan dituntut membayar upah dan hak pekerja, memperkejakan kemabali pekerja dan meminta Disnakertrans Kaltim untuk merekomendasikan sanksi dan memproses pidana terhadap perusahaan,” kata Aji pada rapat yang dihadiri Disnakertrans Kaltim dan Disnakertrans Berau itu.
“Meminta kepada Disnakertrans Kaltim merekomendasikan sanksi kepada perusahaan. Ironisnya, setelah dilakukan perumahan dan PHK justru perusahaan melakukan penerimaan karyawan baru, dan adanya beberapa unit baru. Padahal, alasan PHK efesiensi, ini tidak logis,” tambahnya.
Ditambahkannya, tidak ada tahapan yang harus dilakukan oleh perusahaan sebagaimana peraturan yang berlaku, seperti mengurangi lembur, jam kerja dan sejenisnya akan tetapi langsung melakukan upaya merumahkan dan PHK.
Upaya yang dilakukan sudah berlangsung cukup lama dalam proses media baik dilakukan Disnakertrans hingga DPRD Berau akan tetapi belum ada kejelasan dari pihak perusahaan. Oleh sebab itu maka pihaknya membawa persoalan ini ke tingkat provinsi.
“Disnakertrans sudah mengeluarkan surat himbauan untuk melaksanakan tahapan, Bupati Berau dan DPRD juga suda meminta agar tidak dilakukan pemecatan akan tetapi tidak di indahkan oleh perusahaan,” imbuhnya.
KaDisnakertrans Berau Junaidi telah menerbitkan surat himbauan kepada Dirut PT Buma Site Lati menerangkan bahwa PHK merupakan sutau pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efesiensi perusahaan.
PHK dapat dilakukan dengan melakukan sejumlah tahapan yakni mengurangi upah dan fasilitas pekerja ditingkat atas, mengurangi shift, membatasi atau menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam dan hari kerja, meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir, tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang telah habis masa kontraknya, dan memberikan bpensiun bagi yang memenuhi syarat.
“Apabila semua tahapan tersebut tidak dilakukan maka pihak perusahaan tidak dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada buruh atau karyawan dimaksud. Namun apabila PHK tidak dapat terhindarkan maka terlebih dahulu melakukan perundingan antara perusahaan dengan karyawan,” katanya.
Pihaknya sudah mengundang PT Buma Lati untuk mencari solusi agar tidak dilakukan PHK khususnya bagi tenaga kerja lokal. Akan tetapi pihak perusahaan mengaku sudah melakukan tahapan-tahapan sebagaimana yang dimaksud oleh Disnakertrans sehingga menganggap PHK merupakan tindakan yang benar karena tidak melanggar satupun ketentuan.
Disnakertrans Kaltim Datu Badaruddin mengatakan terhadap pengawasan dan pembinaan menjadi tugas provinsi dalam hal ini 4 orang pejabat fungsional pengawas yang ditempatkan di Disnakertrans Berau.
Disampaikan mereka pernah sidak ke PT Bima Lita, kemudian mengeluarkan surat nota pemeriksaan pertama dan kedua belum ada balasan. Artinya, pihak perusahaan bersikukuh dengan sikapnya.
“Meminta kepada bidang pengawasan untuk melakukan gelar perkara terhadap persoalan ini dengan mengacu kepada semua dokumen yang ada. Hasilnya memang masih harus dilakukan pendalaman karena masih ada sejumlah berkas yang harus dilengkapi. Hasil dari gelar perkara yang saat ini masih berjalan untuk menentukan apakah perlu dilakukan peningkatan status dari pemeriksaan menjadi penyelidikan,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut Ketua Komisi IV DPRD Kaltim Rusman Ya qub mengatakan langkah normatif sudah dilakukan akan tetapi pihak perusahaan bersikukuh dengan sikapnya. Oleh sebab itu pemerintah harus merekomendasikan ke pemerintah pusat agar diberikan sanksi.
“Senin (10/2), kita panggil PT Buma Lati, kami harap Disnakertrans sudah harus menaikkan status menjadi penyelidikan. Apalagi sudah difasilitasi mulai Disnakertrans, DPRD dan Bupati akan tetapi ko masih begitu. Siapa sih perusahaan itu?,” tegas Rusman didampingi Abdul Kadir Tappa, Ely Hartati Rasyidi, Fitri Maisyaroh, dan Herliana Yanti.
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim Abdul Kadir Tappa menyebutkan Disnakertrans lemah, pengawasnya tidak berbanding lurus dengan beban kerjanya dengan jumlah SDM. Contoh di Berau hanya ada 4 pengawas dari provinsi.
“Tidak perlu ambil langkah hukum, lewat jalur kekeluargaan saja dengan mekakukan pendekatan dengan perusahaan agar tidak melakukan pemecatan, dankalaupun memang terpaksa PHK dilakukan maka harus jelas pesangon sesuai dengan masa kerjanya,”.
Senada, Anggota Komisi IV DPRD Kaltim Fitri Maisyaroh mengatakan masalahnya sejak rekruitmen tenaga kerja, karena apabila dilihat dari data bahwa sebagian besar pekerja berasal dari luar daerah sedangkan karyawan lokal tidak sampai setengah.
“Pengawasan sejak awal belum maksimal. Ketika masalah terjadi maka kembalikan posisi awal, tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja dengan tenaga kerja lokal karena komposisi sudah tidak rasional. Misal seribu karyawan, 300 orang pekerja lokal lalu kemudian di rumahkan atau PHK berarti tenaga kerja lokal habis, ini sudah melanggar,”pungkasnya.(hms4)